Selasa, Oktober 06, 2009

Hubungan Antara Dosa Dan Bencana

Oleh: Muhammad Mukhlis

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِي اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
أَمَّا بَعْدُ؛ أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ، وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.

Ma’assyirol muslimin, rahimakumullah
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Subhannahu wa Ta’ala yang telah menjadikan kita sebagai hamba-hambaNya yang beriman, yang telah menunjuki kita shiratal mustaqim, jalan yang lurus, yaitu jalan yang telah ditempuh orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah, dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin.
Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya, semoga shalawat dan salam selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau dengan baik hingga hari kiamat.
Selanjutnya dari atas mimbar ini, perkenankanlah saya menyampaikan wasiat kepada saudara-saudara sekalian dan kepada diri saya sendiri, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala selama sisa umur yang Allah karuniakan kepada kita, dengan berusaha semaksimal mungkin menjauhi larangan-laranganNya dan melaksanakan perintah-perintahNya dalam seluruh aktivitas dan sisi kehidupan. Sungguh kita semua kelak akan menghadap Allah sendiri-sendiri untuk mempertang-gungjawabkan seluruh aktivitas yang kita lakukan. Pada hari itu, hari yang tidak diragukan lagi kedatangannya, yaitu hari kiamat, tidak akan bermanfaat harta benda yang dikumpul-kumpulkan dan anak yang dibangga-banggakan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang salim, hati yang betul-betul bersih dari syirik sebagaimana firmanNya dalam Surat Asy-Syu’aro ayat 88-89:
(Yaitu) di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Asy-Syu’ara’: 88-89)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Dalam kesempatan khutbah Jum’at kali ini saya akan membahas tentang hubungan antara dosa dan bencana yang menimpa umat manusia sebagaimana yang diterangkan di dalam Al-Qur’an. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman dalam Surat Ar-Ruum ayat 41 yang berbunyi:
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Allah juga berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 112:
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”
Seorang ulama’ yang bernama Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu memberi ulasan terhadap kedua ayat tersebut dengan mengatakan: “Ayat-ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah itu Maha Adil dan Maha Bijaksana, Ia tidak akan menurunkan bala’ dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan maksiat dan pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah” (Jalan Golongan Yang Selamat, 1998:149)
Kebanyakan orang memandang berbagai macam musibah yang menimpa manusia hanya dengan logika berpikir yang bersifat rasional, terlepas dari tuntutan Wahyu Ilahi. Misalnya terjadinya becana alam berupa letusan gunung berapi, banjir, gempa bumi, kekeringan, kelaparan dan lain-lain, dianggap sebagai fenomena kejadian alam yang bisa dijelaskan secara rasional sebab-sebabnya. Demikian dengan krisis yang berkepanjangan, yang menimbulkan berbagai macam dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman, tenteram dan sejahtera, hanya dilihat dari sudut pandang logika rasional manusia. Sehingga, solusi-solusi yang diberikan tidak mengarah pada penghilangan sebab-sebab utama yang bersifat transendental yaitu kemaksiatan umat manusia kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala Sang Pencipta Jagat Raya, yang ditanganNyalah seluruh kebaikan dan kepadaNya lah dikembalikan segala urusan.
Bila umat manusia masih terus menerus menentang perintah-perintah Allah, melanggar larangan-laranganNya, maka bencana demi bencana, serta krisis demi krisis akan datang silih berganti sehingga mereka betul-betul bertaubat kepada Allah.
Ikhwani fid-din rahimakumullah
Marilah kita lihat keadaan di sekitar kita. Berbagai macam praktek kemaksiatan terjadi secara terbuka dan merata di tengah-tengah masyarakat. Perjudian marak dimana-mana, prostitusi demikian juga, narkoba merajalela, pergaulan bebas semakin menjadi-jadi, minuman keras menjadi pemandangan sehari-hari, korupsi dan manipulasi telah menjadi tradisi serta pembunuhan tanpa alasan yang benar telah menjadi berita setiap hari.
Pertanyaannya sekarang, mengapa segala kemungkaran ini bisa merajalela di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini? Jawabannya adalah tidak ditegakkannya kewajiban yang agung dari Allah Subhannahu wa Ta’ala yaitu amar ma’ruf nahi mungkar, secara serius baik oleh individu maupun pemerintah sebagai institusi yang paling bertanggung jawab dan paling mampu untuk memberantas segala macam kemungkaran secara efektif dan efisien. Karena pemerintah memiliki kekuatan dan otoritas untuk melakukan, meskipun kewajiban mengingkari kemungkaran itu merupakan kewajiban setiap individu muslim sebagaimana sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.

Artinya: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu ubahlah dengan lisannya, bila tidak mampu ubahlah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (Hadits shahih riwayat Muslim)
Namun harus diketahui bahwa memberantas kemungkaran yang sudah merajalela tidak hanya dilakukan oleh individu-individu, karena kurang efektif dan kadang-kadang beresiko tinggi. Sehingga kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu bisa dilakukan secara sempurna dan efektif oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Usman bin Affan Radhiallaahu anhu , khalifah umat Islam yang ketiga:
“Sesungguhnya Allah mencegah dengan sulthan (kekuasaan) apa yang tidak bisa dicegah dengan Al-Qur’an”
Disamping itu amar ma’ruf nahi mungkar merupakan salah satu tugas utama sebuah pemerintahan, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Sesungguhnya kekuasaan mengatur masyarakat adalah kewajiban agama yang paling besar, karena agama tidak dapat tegak tanpa negara. Dan karena Allah mewajibkan menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, menolong orang-orang teraniaya. Begitu pula kewajiban-kewajiban lain seperti jihad, menegakkan keadilan dan penegakan sanksi-sanksi atau perbuatan pidana. Semua ini tidak akan terpenuhi tanpa adanya kekuatan dan pemerintahan” (As Siyasah Asy Syar’iyah, Ibnu Taimiyah: 171-173).
Apabila kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka sebagai akibatnya Allah akan menimpakan adzab secara merata baik kepada orang-orang yang melakukan kemungkaran ataupun tidak. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dalam sebuah haditst Hasan riwayat Tarmidzi:

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشَكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابَ لَكُمْ.

Artinya: “Demi Allah yang diriku berada di tanganNya! Hendaklah kalian memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar atau Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, lalu kalian berdo’a namun tidak dikabulkan”.
Demikian pula Allah menegaskan di dalam QS. Al-Maidah ayat: 78-79, bahwa salah satu sebab dilaknatnya suatu bangsa adalah bila bangsa tersebut meninggalkan kewajiban saling melarang perbuatan mungkar yang muncul di kalangan mereka.
Artinya: “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat”
Yang dimaksud laknat adalah dijauhkan dari rahmat Allah Subhannahu wa Ta’ala . Dengan demikian supaya bangsa ini bisa keluar dan terhindar dari berbagai krisis dalam kehidupan di segala bidang dan selamat dari beragam musibah dan bencana, hendaklah seluruh kaum muslimin dan para pemimpin atau penguasa mereka, bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dengan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang perbuatan-perbuatan mungkar sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing, mentaati Allah Ta’ala dan menjauhi seluruh larangan-larangan dalam seluruh aspek kehidupan.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.

Khutbah Kedua

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيْئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.

Dalam khutbah kedua ini saya akan memberikan kesim-pulan dari khutbah pertama. Yang pertama, kemaksiatan manusia kepada Allah Rabbul ‘Alamin merupakan penyebab utama terjadinya berbagai musibah yang menimpa umat manusia baik itu berupa bencana alam maupun krisis di berbagai bidang kehidupan. Yang kedua, satu-satunya jalan untuk terhindar dari segala musibah tersebut dan dapat menikmati kehidupan yang aman, tenteram, damai dan sejahtera adalah dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan RasulNya Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dalam seluruh aspek kehidupan yang ada dengan penuh ketundukkan, kecintaan dan keikhlasan. Yang ketiga, bahwa segala do’a dan istighatsah yang dilakukan umat Islam supaya bisa keluar dari segala macam musibah tidak akan dikabulkan oleh Allah kecuali bila kaum muslimin secara sungguh-sungguh memerintahkan kepada yang ma’ruf dan memberantas segala yang mungkar.
Akhirnya marilah kita tutup khutbah Jum’at ini dengan berdo’a kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala :

رَّبَّنَآ إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ ءَامِنُوا بِرَبِّكُمْ فَئَامَنَّا، رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ.
رَبَّنَا وَءَاتِنَا مَاوَعَدتَنَا عَلَىرُسُلِكَ وَلاَتُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لاَتُخْلِفُ الْمِيعَادَ.
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى رَسُوْلِهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ

Minggu, Oktober 04, 2009

MUI : Kapitalisme Dalam Gempa Undang Bencana Lainnya


Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumut mengimbau agar pihak mana pun tidak menerapkan asas kapitalisme dalam musibah gempa di Sumbar karena dapat mengundang datangnya bencana yang lain.

"Itu sama saja dengan menyakiti dan menzolimi saudara kita yang sedang dalam kesusahan," kata Ketua Komisi Fatwa MUI Sumut, Dr H. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA di Medan, Sabtu.

Pernyataan itu disampaikan Ramlan Yusuf Rangkuti ketika dimintai fatwanya tentang adanya perusahaan, termasuk maskapai yang mengambil keuntungan dari musibah gempa yang melanda Sumbar dengan menjual tiket pesawat kepada keluarga korban melebihi tarif batas atas.

Memang, kata Ramlan Yusuf, dalam teori ekonomi, apalagi kapitalisme selalu mengajatrkan untuk mencari keuntungan dalam setiap kesempatan.

Termasuk teori yang menyebutkan semakin tingginya permintaan terhadap suatu barang makan semakin tinggi pula harga yang ditentukan.

Namun, kata dia, sebagai bangsa yang beragama, sudah sewajarnya warga negara Indonesia manusia saling membantu dalam kesulitan.

Paling tidak, tambahnya, tidak melakukan perbuatan yang dapat menambah kesusaha dan kesulitan terhadap orang-orang yang sedang mengalami kesusahan itu.

"Jika itu dilakukan, haram hukumnya," kata Dosen di IAIN Sumut, USU dan UISU tersebut.

Ia mengimbau, perusahaan yang menerapkan kebijakan untuk mengambil keuntungan dari peristiwa gempa di Sumbar itu menghentikan perbuatannya.

Dalam pandangan agama, perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai tindakan yang menzolimi dan menyakiti manusia yang sedang beredih dan dalam kesusahan.

"Perlu disadari, hal itu dapat mengundang bencana lain bagi bangsa Indonesia," katanya.

Sebelumnya, gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter mengguncang Padang, Sumbar, Rabu (30/9) pukul 17:16 WIB yang terjadi pada episentrum 0,84 lintang selatan (LS) dan 99,65 bujur timur (BT), dengan kedalaman 71 km.

Gempa tersebut berada di dasar laut 57 km barat Daya Pariaman, Provinsi Sumbar.

Pada pukul 17:38 WIB terjadi lagi gempa susulan dengan kekuatan 6,2 SR pada episentrum 0,72 LS dan 99,94 BT dan pusat gempa berada di 22 km barat daya Pariaman Provinsi Sumbar dengan kedalaman 110 km.

Selain menghancurkan ratusan bangunan milik pemerintah, warga dan pusat perbelanjaan, gempa itu juga menewaskan ratusan warga Sumbar.(ant)(voa-islam)

Sabtu, Oktober 03, 2009

Ketua IMF Dilempar Sepatu, Al Zaidi Jilid II

Islambul - Seorang pemrotes, Kamis (1/10/09) melemparkan sepatu ke ketua IMF (Dana Moneter Internasional) Dominique Strauss-Kahn ketika ia berpidato di hadapan mahasiswa unversitas di kota terbesar Turki, Istanbul.

Pemrotes itu, yang diduga adalah mahasiswa, meneriakan "IMF, Keluar dari Turki!" ketika ia melemparkan sepatu olahraga, yang jatuh dekat ketua IMF itu , kata seorang saksi mata koresponden AFP.

Pemrotes itu segera digiring keluar ruang pertemuan oleh petugas keamanan.

Taktik melemparkan sepatu itu pertama kali digunakan di Irak tahun lalu terhadap Presiden Amerika Serikat George W Bush dan sejak itu terjadi beberapa aksi protes serupa itu. (muslimdaily)

Jumat, Oktober 02, 2009

Bantuan Negara Arab Sangat Dibutuhkan, Dubes Saudi Sampaikan Dukacita Bagi Korban Gempa

Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Abdurrahman Muhammad Amin al Khoyat menyampaikan dukacita bagi korban gempa di Sumatera Barat, khususnya Padang.

"Dukacita sedalam-dalamnya dari Raja Abdullah dan Putra Mahkota," kata dia usai melaksanakan salat Jumat dan Ghaib bagi korban gempa bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla di Masjid Istiqlal, Jumat 2 Oktober 2009

"Pemerintah Saudi akan koordinasi untuk memberikan bantuan apa saja yang diperlukam rakyat Indonesia," kata dia sesuai terjemahan imam Masjid Istiqlal Ali Mustafa Yaqub.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menambahkan sejumlah negara-negara sahabat telah memberikan bantuan. Diantara, Jepang, Australia, Norwegia, Singapura. Dukungan bantuan dari negara-negara Arab dan Timur Tengah sangat diharapkan oleh korban gempa di Sumatera Barat dan Jambi.

Perlu diketahui, bantuan negara-negara Arab dan Timur Tengah selama ini terhadap korban gempa di Indonesia merupakan yang terbesar meskipun terkesan lamban. Tak tanggung-tanggung, ketika itu hingga musibah telah berlangsung dua minggu, total sumbangan rakyat Saudi dan pihak kerajaan telah mencapai jumlah yang cukup fantastis, 800 juta dolar AS atau sekitar Rp7,2 triliun (kurs Rp9. 000 per 1 dolar AS). Sumbangan sebesar Rp7,2 triliun dari Arab Saudi tersebut jauh lebih besar dibanding sumbangan dari negara-negara asing termasuk AS sebesar US$ 350 juta.

Yang tidak kalah fantastisnya ketika itu, sumbangan sebesar 800 juta dolar AS atau sekitar Rp. 7,2 triliun dari Arab Saudi itu diberikan dalam bentuk hibah alias tunai. Bukan utang. Berbeda dengan bantuan beberapa negara asing termasuk AS yang berupa pinjaman.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dana untuk proses rehabilitasi seluruh bangunan dan infrastruktur yang rusak akibat gempa yang mengguncang beberapa daerah di Sumatera diperkirakan mencapai Rp 3 triliun hingga Rp 4 triliun.

"Tiga sampai empat triliun untuk rehabilitasi," ucap JK menanggapi pertanyaan wartawan saat jumpa pers seusai shalat Jumat di Masjid Istiqlal Jakarta, Jumat (2/10). Ikut hadir menemani Menteri Agama Maftuh Basyuni serta Duta Besar Arab Saudi Abdurahman Moh Amin Al Khayyad.

Namun, kata Wapres, rehabilitasi merupakan tahap kedua yang akan dilakukan pemerintah setelah menyelesaikan tahap pertama, yaitu tanggap darurat. Untuk tahap pertama, pemerintah telah mengucurkan dana Rp 100 miliar. Dana itu untuk menyelamatkan seluruh korban selamat dengan menyuplai logistik baik makanan, obat-obatan, tempat tinggal sementara, dan sebagainya.

"Setelah itu lalu rehabilitasi secepatnya," kata JK.

Takut Tuduhan Terorisme

Kesan lamban bantuan negara-negara Arab terhadap korban gempa biasanya dilatarbelakangi ketakutan mereka terhadap tuduhan keterkaitan dengan kegiatan terorisme.

Keraguan bangsa Arab untuk segera cepat menolong saudaranya sendiri di Indonesia, memang bisa dipahami. Semenjak 11 September yang oleh Amerika Serikat (AS) kemudian dijadikan batu pijakan melakukan ‘perang melawan teroris’ membuat negara-negara Islam ikut-ikutan kena getah. Apalagi, AS dengan seenaknya saja mengaitkan apapun dana yang diberikan Timur Tengah.

Pengawasan ketat terhadap aliran dana dari Timur Tenggah di saat kompanye anti-terorisme membuat sumbangan dari masyarakat Arab terkesan lamban. Hal ini membuat masyarakat Arab lebih menghindari masalah yang dapat muncul akibat dana ke luar negeri, termasuk memberikan sumbangan bagi korban bencana di Asia Selatan.

Sudah menjadi rahasia umum, dana-dana Timur Tengah yang dulunya bisa dengan mudah mengucur di Indonesia untuk keperluan dakwah dan pembangunan masjid atau pesantren sudah lama berhenti.

Namun spontanitas negara Arab terhadap korban tsunami di Indonesia beberapa saat lalu diharapkan bisa kembali menyatukan rasa kemanusiaan mereka pada saudara-saudara seiman tak peduli sekejam apapun kritikan pers Barat dan tuduhan Amerika. (muslimdaily/bbs)

Kamis, Oktober 01, 2009

KH. Didin: Seluruh Bangsa Harus Istighfar Atas Terjadinya Gempa di Indonesia

Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), KH Didin Hafiduddin, mengimbau para pemimpin dan tokoh nasional agar memprakarsai kegiatan "istighfar" atau doa bersama nasional sebagai bagian dari upaya pencegahan bencana alam gempa bumi yang sering melanda Indonesia, termasuk di Sumatera Barat.


"Dari pendekatan ilmiah, bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, karena wilayah geografis Indonesia berada di perbatasan lempeng bumi yang memungkinkan bergerak. Sedangkan dari pendekatan agama, bencana alam ini merupakan peringatan dari Allah yang harus disikapi dengan cara banyak mendekatkan diri Allah," kata Didin Hafiduddin, Kamis (1/10).

Menurut Didin, dari pendekatan agama Islam, penanggulangan dan pencegahan yang harus dilakukan yakni melakukan "istighfar" nasional serta meningkatkan solidaritas dan empati terhadap korban bencana alam.

Kegiatan "istighfar" nasional tersebut, kata dia, hendaknya digagas dan diprakarsai oleh pemimpin dan tokoh nasional dengan cara mengucapkan cara mengucapkan lafal "istighfar" bersama-sama oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Kegiatan tersebut hendaknya tidak dilakukan hanya sekali saja, tapi dilakukan berulang-ulang dalam setiap kesempatan.

Mantan Rektor Universitas Ibnu Khaldun Bogor ini juga mengingatkan, agar para pemimpin dan tokoh nasional meningkatkan koreksi diri dan dalam menjalankan tugasnya lebih berorientasi untuk kepentingan masyarakat.

Ia juga meminta kepada masyarakat elit untuk hidup lebih sederhana dan menyedekahkan sebagian kekayaannya untuk masyarakat miskin, sebagai kepedulian dan empati.

Menurut dia, lembaga BAZNAS yang dipimpinnya, segera menyalurkan bantuan sekitar Rp1 miliar dalam bentuk makanan dan relawan kesehatan untuk korban bencana gempa di Sumatera Barat, pada Kamis ini.

Bantuan tersebut berupa bahan makanan cepat saji seperti mie instan, ikan sarden, telur serta tim dokter dari BAZNAS.

Gempa bumi di Sumatera Barat terjadi di Kabupaten Pariaman, pada Rabu (30/9) pukul 17.16 WIB dengan kekuatan 7,6 Skala Richter (SR) yang getarannya dirasakan sampai ke Singapura dan Malaysia.

Akibat gempa tersebut ribuan bangunan di Kota Padang dan sekitarnya hancur dan rusak dan korban jiwa untuk sementara diperkirakan sekitar 75 orang.

Pada Kamis pagi, terjadi dua kali gempa dilokasi berbeda yakni Provinsi Jambi dan Provinsi Sulawesi Utara. Di Jambi gempa berkekuatan 7,0 SR di Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, pukul 08.52 WIB dan getarannya terasa sampai ke Bengkulu dan Batam. Kemudian gempa di Sulawesi Utara terjadi di Melonguane berkekuatan 5,5 SR pukul 08.31 WIB. (muslimdaily)

Korban Meninggal Gempa di Padang Sudah Lebih Dari 500 Orang











Jumlah korban jiwa akibat Gempa 7,6 SR di enam Kabupaten di Provinsi Sumatera Barat, 30 September kemarin mencapai 529 jiwa. Sebagian besar dari korban tersebut berdomisili di Kota Padang.

Menurut petugas pos Gempa Padang, Departemen Sosial di kota tersebut tercatat sebanyak 376 orang meninggal. Sementara korban yang lain tersebar di lima kabupaten lain yang terimbas gempa di Sumatera Barat.

Korban luka berat secara total di enam kabupaten di Sumatera Barat tercatat sebanyak 105 orang. "Kalau kerusakan bangunan kami belum bisa memperkirakan," ujar Tukiyo Bisri, petugas piket Pos Depsos.

Menurut Kepala Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan, sebanyak 7 sampai 8 ton obat-obatan sudah dikirimkan Depkes kesana. Disamping itu, dikirimkan juga 8 tom makanan bayi, 630 kantung mayat, dan sejumlah besar tenda dan tikar.

Ratusan dokter spesialis juga didatangkan ke Sumatera Barat. Sejauh ini, Depkes telah mendaftar sebanyak 200 dokter yang datang dari Jakarta, Palembang, dan Makassar. (muslimdaily)

Jenazah Aji dan Urwah Telah Diserahkan Kepada Keluarga


JENAZAH AJI - FOTO: INILAH.COM

Jenazah Aji dan Urwah siang ini dipastikan telah dijemput dan dibawa pulang oleh keluarganya masing-masing dari RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (1/10/2009).

Jenazah tersangka teroris Ario Sudarso alias Aji diambil pihak keluarga dari Rumah Sakit Polri Soekamto, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Jenazah dibawa sekitar pukul 12.50 WIB menggunakan ambulans dan dikawal mobil polisi.

Pengacara dari Tim Pembela Muslim Muhammad Kurniawan membenarkan jenazah yang sudah dimasukkan ke mobil ambulans itu adalah Aji.

"Iya ini jenazah Aji akan dibawa ke Purbalingga," kata Kurniawan sebelum meninggalkan RS Polri, Kamis (1/10/2009).

Semalam, keluarga Urwah, Aji, dan Susilo berangkat secara terpisah.

Keberangkatan Keluarga Susilo didampingi oleh kuasa hukum dari TPM Anies Prijo, S.H. Sementara itu dari keluarga Urwah dan Aji didampingi kuasa hukum dari ISAC, Muhammad Kurniawan dan Endro Sudarsono.

Jenazah empat korban meninggal akibat serbuan Densus 88 di desa Kepuhsari, Mojosongo, Solo tersebut sedianya akan diserahkan secara bersamaan Kamis (1/10) siang ini kepada keluarga.

Namun, dikarenakan keluarga Susilo hingga siang ini dikabarkan belum sampai di RS Polri Kramat Jati, maka yang diserahkan terlebih dahulu jenazah Urwah dan Aji. Sementara jenazah Susilo masih berada di rumah sakit.

Jenazah Noordin

Sementara itu, dua istri Noordin M Top, yaitu Arina dari Cilacap dan Rahmah Rusdi dari Johor, siang ini sama-sama berada di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (1/10/2009).

Keduanya dijadwalkan melihat suaminya. Rencananya Rahmah akan langsung memboyong jenazah mendiang suaminya ke Tanah Kelahiran di Johor, Malaysia dengan berkoordinasi dengan jadwal pesawat.

Arina tiba terlebih dulu ke RS Polri pada pukul 08.20 WIB tadi pagi. Adapun Rahmah baru tiba ke RS Polri sekira pukul 13.20 WIB. Rahmah datang ke Indonesia dengan didampingi kakaknya, Yahya M Top, dan tiga polisi Malaysia.

(muslimdaily)

Gempa 7,6 SR di Sumbar Selain Bumi Minang dan Ambacang, Hotel Mariani Juga Hancur


Padang - Hotel-hotel di Kota Padang menjadi korban dahsyatnya gempa 7,6 SR yang terjadi di Sumatera Barat (Sumbar), Rabu (30/9/2009). Selain hotel Bumi Minang dan Ambacang yang ambruk, hotel Mariani juga luluh lantak.

Pemantauan detikcom, Kamis (1/10/2009), hotel Mariani mengalami kerusakan sangat parah di bagian belakang dan samping. Meski tidak seberat luluh lantaknya Hotel Bumi Minang dan Ambacang, namun bangunan hotel Mariani ini sudah tidak bisa digunakan lagi.

Tiga hotel yang luluh lantak ini terletak berdekatan dan berada di Jalan Bundo Kandung. Diperkirakan banyak korban yang tertimbun puing-puing reruntuhan.

Hingga pukul 13.40 WIB, proses evakuasi di tiga hotel itu masih terus dilakukan oleh TNI, Polri, Tim SAR dan relawan. Namun, peralatan berat yang didatangkan sangat terbatas. Saat ini, alat berat masih digunakan di Hotel Mariani.

Di Hotel Ambacang, menurut salah seorang karyawannya, diperkirakan ada sekitar 100-200 orang yang tertimbun di puing bangunan. "Tadi malam sudah ada beberapa orang yang sudah dievakuasi," kata dia.

Sedangkan di Hotel Bumi Minang, sejumlah orang juga diperkirakan terperangkap. Namun, belum ada yang bisa memastikan berapa orang yang terperangkap di hotel bintang empat itu.

(asy/nrl)

Sabtu, September 26, 2009

MUI Solo Gelar Tabligh Akbar Islam Bukan Teroris

MUI kota Surakarta menggelar Tabligh Akbar bertema Umat Islam Memberitahu Dunia bahwa Terorisme Bukan Islam, Jumat, 25 Desember di Lapangan Kota Barat Solo.

Ribuan umat Islam Solo dan sekitarnya dari berbagai elemen dan ormas Islam menghadiri tablihg akbar ini di tengah terik matahari yang menyengat.

Sejumlah tokoh umat Islam Surakarta seperti Ketum MUI Solo, Prof. Zainal Arifin Adnan, Ketum MTA Ustadz Ahmad Sukino,tokoh masyarakat Mudrick Sangidoe, Direktur Ponpes Al Mukmin Ustadz Wahyudin dan tokoh umat Islam lain tampak hadir.

Demikian pula nampak hadir para pejabat dari kalangan pemerintahan Walikota Solo Joko Widodo, Kapolwil dan dan kapoltabes Surakarta.

Dalam sambutannya, Ketum MUI Solo Prof. Zainal Arifin Adnan menegaskan bahwa kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi pada masyarakat Indonesia dan dunia bahwa Islam bukanlah identik dengan terorisme. Sehingga pengindentikan madrasah, pesantren dan berbagai atribut keislaman lainnya dengan terorisme adalah salah besar. MUI kota Solo menghendaki agar kepolisian bertindak profesional dalam upaya penanganan masalah tindak terorisme.

Dalam orasi pertama yang disampaikan Mudrik M. Sangidu, isu terorisme seperti ini menjadi bahan adu domba terhadapa umat Islam. Masyarakat harus menilai secara benar makna terorisme tersebut. Jika terorisme identik dengan kekerasan, maka Israel dan Amerika yang
melakukan penjajahan terhadap berbagai negara di dunia ini hakekatnya juga merupakan teroris.

Demikian pula melihat dampak yang terjadi hampir sama dengan tindak terorisme, maka para koruptor dari kalangan birokrat yang tidak amanah tersebut sama dengan tindakan teroris karena
mengakibatkan kelaparan bagi rakyat.

Sementara itu dalam orasi yang kedua yang disampaikan Ustadz Wahyudin menyampaikan bahwa salah satu sebab adanya terorisme adalah keidakadilan. Islam adalah agama yang menjunjung prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Beliau menegaskan bahwa kepolisian hendaknya bertindak profesional dalam menangani kasus terorisme ini dan menggunakan prisnsip keadilan.

Dalam orasi yang terakhir yang disampaikan Ketum MTA (Majelis Tafsir Al Quran) Ustadz Ahmad Sukino kembali menyampaikan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, sehingga menuntut penganutnya untuk selalu berbuat kebaikan dan berdakwah rahmatan lilalamin dengan makna yang sesungguhnya.
[muslimdaily.net]

Kamis, September 24, 2009

"Keyakinan dan Kegigihan Nabi Ibrahim a.s."

Prof. Syafii Maarif menyatakan semua pemikiran manusia adalah nisbi. Namun, ia masih mengecam orang yang berbeda denganya. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-176

Oleh: Adian Husaini

Setiap merayakan hari Raya Idul Adha, umat Islam senantiasa diingatkan akan keteladanan seorang Nabi Allah yang sangat agung dan mulia, yaitu Nabiyullah Ibrahim a.s. Beliau adalah teladan umat manusia, yang memiliki pribadi yang agung, mulia, yang memberikan keteladanan dalam menegakkan kalimah tauhid dalam situasi yang sangat sulit. Beliau hidup di tengah masyarakat penyembah berhala, penyembah dan pengagung batu.

Sebagai seorang yang cerdas, jujur, berani, dan telah menemukan kebenaran Tauhid, Ibrahim a.s., tidak dapat berdiam diri dengan tradisi dan kebobrokan masyarakatnya seperti itu. Sebab, memang tugas para Nabi yang utama, adalah menegakkan kalimah tauhid, dan menjauhi thaghut. “Dan sungguh telah kami utus Rasul kepada tiap-tiap kaum, (untuk menyeru umatnya), agar mereka menyembah Allah dan menjauhi thaghut.” (QS al-Nahl:36).

Oleh karena itu, semua utusan Allah mendapatkan tugas untuk menegakkan kalimah tauhid, bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan ditaati. Tidak ada Tuhan selain Allah. Karena itu, kisah-kisah para Nabi Allah senantiasa merupakan kisah pemberantasan kemuysrikan. Sebab, dalam pandangan Allah SWT, syirik adalah dosa besar, dan merupakan kezaliman yang besar. Lukman menitipkan pesan kepada anaknya: “Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik (itu) (mempersekutukan Allah) adalah kezaliman yang besar.” (QS. Lukman: 13)

Jadi, kezaliman bukan hanya kezaliman terhadap manusia. Tetapi, ada jenis kezaliman yang sangat besar, yaitu kezaliman terhadap Allah, dengan menyekutukan Allah dengan yang lain. Nabi Musa a.s. begitu murka dikhianati kaumnya yang menyembah patung sapi. Karena menyekutukan Allah dengan menyembah patung sapi itulah, maka orang-orang itu dihukum dengan cara membunuh diri mereka sendiri. Nabi Musa a.s. diturunkan Allah untuk melawan Fir’aun yang sudah menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Itulah tindakan syirik yang mebawa kehancuran kepada Fir’aun.

Setiap Nabi dibebani misi untuk mengingatkan manusia, agar jangan menyembah dan beribadah kepada selain Allah. Jangan menyembah batu, jangan menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan, jangan menjadikan harta, jabatan, dan manusia lain, sebagai tuhan, yang lebih dicintai, dihormati, diagungkan, dan ditaati, selain dari Allah SWT.

Dengan membawa misi seperti itu, maka dengan tegas, lembut, dan tulus, Nabi Ibrahim menasehati ayah dan kaumnya, agar mereka meninggalkan sesembahan batunya, meninggalkan tuhannya yang lama, dan beralih menyembah Tuhan yang sejati, Allah SWT.

Dikisahkan dalam Al-Quran: ”Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” (Al-An’am: 74).

Cobalah kita refleksikan ungkapan Nabi Ibrahim itu dalam kondisi masyarakat saat ini, dimana berbagai tindakan syirik dan menyepelekan Allah sedang merajalela dalam berbagai bentuknya. Suatu tradisi yang dianggap sudah mapan dan dianggap sebagai kebenaran oleh mayoritas masyarakatnya, digugat dengan satu perkataan yang tajam dan berani. Ibrahim tidak gentar dengan resiko yang dihadapinya. Ia sangat serius dalam menggugat tradisi penyembahan berhala. Nabi Ibrahim juga berdoa kepada Allah, agar anak keturunannya dijauhkan dari menyembah berhala. (QS Ibrahim: 35-36)

Al-Quran menggambarkan sosok Ibrahim dengan gambaran yang berbeda dengan konsep Yahudi, yang menekankan pada aspek “darah” atau “garis keturunan”. Ibrahim diklaim kaum Yahudi sebagai nenek moyang bangsa Yahudi. Klaim Yahudi adalah klaim rasialis, karena Yahudi memang bangsa yang sangat rasialis. Tuhan mereka, yang sebagian Yahudi menyebutnya dengan nama ‘Yahweh’ adalah Tuhan yang dikhususkan untuk bangsa Yahudi (henoteisme).

Berbeda dengan Yahudi, Al-Quran lebih menekankan sosok Ibrahim sebagai tokoh pembela dan penegak Tauhid, dan menekankan aspek “keimanan” dan “kesalehan” kepada Allah sebagai jalan menuju keselamatan, tanpa pandang bulu, apakah ia bangsa Yahudi atau Arab. Bahkan, untuk orang-orang yang sudah secara formal mengaku beragama Islam pun tidak dijamin keselamatannya jika tidak benar-benar beriman kepada Allah, Hari akhir, dan melakukan amal shalih. Kriteria iman yang sejati, bukanlah sekedar ‘ngaku-ngaku’, tetapi harus benar-benar diyakini dan diamalkan. (QS 2:62). Karena itulah, dalam Al-Quran disebutkan, ada orang-orang yang mengaku-aku beriman tetapi sejatinya mereka tidak beriman. (QS 2:8).

Al-Quran melawan paham rasialis Yahudi dengan mendasarkan keselamatan seseorang hanya semata-mata karena faktor iman dan amal shaleh. Islam adalah agama yang menghapus tuntas problema rasialisme yang hingga kini masih bercokol di belahan dunia Barat. Jika Yahudi mengklaim bahwa Ibrahim adalah Bapak bangsa Yahudi, maka

Al-Quran menegaskan, bahwa: “Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (Ali ‘Imran: 67).

Al-Quran begitu jelas menempatkan posisi dan sosok Ibrahim sebagai sosok pembela Tauhid dan penentang keras kemusyrikan. Kata Nabi Ibrahim, seperti disebutkan dalam Al-Quran: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar (hanif), dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (Al-An’am:79).

Menyongsong Idul Adha 1427 Hijriah ini, satu makna penting yang perlu kita ambil adalah meneladani kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan agama Tauhid dan melawan kemusyrikan. Nabiyullah Ibrahim tidak gentar menghadapi hegemoni paganisme di tengah masyarakatnya. Ia tampil sebagai manusia merdeka yang bertauhid, yang hanya menyandarkan dirinya kepada Allah SWT, meskipun harus berhadapan dengan tradisi pagan. Bahkan, karena perbuatannya melawan kemusyrikan, beliau akhirnya harus menghadapi ujian yang sangat berat, terutama yang datang dari tengah keluarganya sendiri. Ia harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya sendiri yang bertahan dalam kemusyrikan dan menentang ketauhidan.

Membaca kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam menegakkan kalimah Tauhid itu, kita tentu memahami, bahwa Nabiyulllah Ibrahim sangat yakin dengan kebenaran Tauhid yang diyakininya. Tauhid memang mensyaratkan keyakinan, dan menolak keraguan atau relativisme nilai. Dalam Tauhid yang ada adalah haq dan bathil, salah dan benar. Yang benar harus ditegakkan dan yang salah harus diruntuhkan, sebagimana dicontohkan oleh Nabiyullah Ibrahim a.s.

Umat Islam adalah umat yang menerima dan meyakini semua Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Kita tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Kita menerima dan mengimani kenabian Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw. Kaum Yahudi menolak kenabian Isa dan Muhammad. Kaum Nasrani menolak untuk mengimani kenabian Muhammad saw. Umat Islam adalah umat yang paling konsisten dalam mengikuti sunnah Ibrahim a.s. dan paling banyak menyebut namanya serta mendoakannya. Bukan hanya mereka yang sedang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, tetapi setiap hari dalam shalat lima waktu, kita senantiasa membaca shalawat (doa) untuk Nabiyullah Ibrahim a.s. bersama dengan shalawat untuk Nabi Muhammad saw.

Adakah umat lain yang begitu besar kecintaannya kepada Nabi Ibrahim selain umat Islam, yang setiap hari berulang kali menyebut namanya dalam ibadah wajibnya?

Tidak berbeda dengan tugas Nabi-nabi sebelumnya, Nabi Muhammad saw diperintahkan Allah SWT untuk menjelaskan tentang konsep Tauhid dalam Islam dan mengajak kaum Yahudi dan Kristen untuk bersama-sama menganut Tauhid dan meninggalkan tindak kemusyrikan yang sangat dimurkai oleh Allah SWT. Rasululullah saw diperintahkan oleh Allah SWT:

“Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada satu kalimah (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dengan kalian, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang Muslim.” (QS 3:64).

Dalam urusan tauhid inilah kita wajib meneladani apa yang telah dilakukan oleh para Nabi. Tauhid tentu tidak mungkin bersatu dengan syirik, sebab tauhid berlandaskan kepada keyakinan. Para Nabi begitu gigih dalam memberantas kemuysrikan. Para Nabi itu tentu berangkat dari keyakinan dan kepastian iman, bukan dari keraguan atau kenisbian iman. Keimanan mereka kokoh, bahwa Tauhid adalah benar, dan syirik adalah salah. Tentu saja, mereka memiliki keyakinan itu berdasarkan kepada pemahaman yang yakin pula. Mereka sama sekali bukan penganut paham relativisme akal, relativisme iman, atau relativisme kebenaran.

Keyakinan dalam iman inilah yang seyogyanya ditanamkan oleh para cendekiawan dan ulama. Kita tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada pikiran pada sebagian cendekiawan yang menyebarkan paham relativisme akal dan kebenaran, seperti yang dilakukan oleh Syafii Maarif melalui artikelnya di Republika (Jumat, 29 Desember 2006) yang berjudul “Mutlak dalam Kenisbian”.

Dia menulis: “Iman saya mengatakan bahwa Al-Quran itu mengandung kebenaran mutlak, karena ia berhulu dari yang Mahamutlak. Tetapi sekali ia memasuki otak dan hati manusia yang serba nisbi, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya, termasuk mufassir yang dinilai punya otoritas tinggi, apalagi jika yang menafsirkan itu manusia-manusia seperti saya… Jika ada orang yang mengatakan bahwa penafsirannya mengandung kebenaran mutlak, maka ia telah mengambil alih otoritas Tuhan.”

Terhadap pernyataan Syafii itu kita perlu lakukan klarifikasi dan koreksi. Banyak sekali kalangan cendekiawan yang terjebak oleh logika dikotomis semacam ini. Yang perlu ditekankan, adalah bahwa Al-Quran memang Kalamullah, tetapi Al-Quran diturunkan untuk manusia. Allah tidak menuntut manusia menjadi Tuhan dan tidak mungkin manusia memahami Al-Quran sama dengan Allah memahaminya. Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan. Karena itu, jika seorang mufassir atau seorang Muslim memahami dan meyakini pemahamannya bahwa Allah itu satu, bahwa Nabi Isa tidak disalib, bahwa babi itu haram, tidak bisa dikatakan, bahwa sang mufassir itu sedang menggantikan posisi Tuhan karena telah memutlakkan pendapatnya. Sebab, memang, di luar pemahaman (kebenaran) yang satu itu, tidak ada kebenaran lain. Dalam hal-hal yang pasti (qath’iy), memang hanya ada satu penafsiran yang benar. Tidak mungkin ada dua pemahaman yang berlawanan. Misalnya, tidak mungkin dipahami, bahwa Nabi Isa tidak disalib sekaligus juga disalib. Tidak mungkin ada pemahaman bahwa Allah itu satu, tetapi sekaligus juga banyak. Tidak mungkin kita memahami bahwa babi itu haram sekaligus juga halal. Jika kita memahami bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi, maka tidak mungkin pada saat yang sama kita juga menisbikan pendapat kita bahwa ada kemungkinan beliau saw juga bukan nabi. Na’udzubillah. Dalam hal ini, keyakinan bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi memang bersifat mutlak, tidak ada keraguan sedikit pun dan tidak ada kenisbian sedikit pun. Tentu, ‘kemutlakan’ di sini adalah dalam batas-batas manusia, karena kita memang tidak mungkin menggantikan posisi Tuhan.

Dalam hal sederhana, kita bisa bertanya, apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan: “Karena pemikiran saya bersifat nisbi, maka kelelakian saya adalah nisbi dan tidak mutlak.” Begitu juga, apakah beliau berani membuat pernyataan: “Karena pemahaman akal saya terhadap Allah adalah nisbi, maka keimanan saya kepada Allah juga bersifat nisbi dan tidak mutlak.” Apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan seperti itu? Jika berani, maka kita tidak bisa berbuat apa-apa. Cukup mengelus dada dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Kita tunggu saja apa yang terjadi kemudian.

Kenyataannya, Syafii Maarif juga tidak konsisten. Jika ia menyatakan semua pemikiran manusia adalah nisbi, maka pemikiran dia pun nisbi. Sebab itu, dia tidak perlu menyalahkan atau mengecam orang yang berpendapat lain dengan pendapatnya, serta memaksa manusia lain untuk menisbikan pendapatnya, seperti dia. Ketika dia menyalahkan orang lain, maka dia sendiri pun sudah memutlakkan pendapatnya.

Yang jelas, keberanian Nabi Ibrahim a.s. dalam meruntuhkan berhala-berhala kaumnya tidak mungkin muncul dari sebuah keimanan yang nisbi dan relatif; tetapi muncul dari pemikiran dan keyakinan yang mutlak, bahwa menyembah berhala adalah tindakan syirik dan salah sampai kapan pun! Wallahu a’lam bis-shawab.

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Rabu, September 23, 2009

Bahaya Meninggalkan Shalat


1. Meninggalkan Shalat Merupakan Kekufuran

Allah subhanahu wata’ala berfirman mengenai orang-orang Musyrikin, artinya,
"Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama." (at-Taubah:11)

Yakni, jika mereka bertaubat dari kesyirikan dan kekufuran mereka, mendirikan shalat dengan meyakini kewajibannya, melaksanakan rukun-rukunnya dan membayar zakat yang diwajibkan, maka mereka adalah saudara di dalam agama Islam. Jadi, yang dapat difahami dari ayat ini, bahwa siapa saja yang ngotot melakukan kesyirikan, meninggalkan shalat atau menolak membayar zakat, maka ia bukan saudara kita dalam agama Islam.

Dalam sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“(Pembeda)antara seseorang dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR.Muslim)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Aku khawatir tidak halal bagi laki-laki (suami) diam bersama isteri yang tidak melakukan shalat, tidak mandi jinabah dan tidak mempelajari al-Qur'an.”

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama seputar jenis kekufuran orang yang meninggalkan shalat karena bermalas-malasan meskipun menyakini kewajibannya, maka yang pasti perbuatan itu amat dimurkai.

2. Meninggalkan Shalat Merupakan Kemunafikan.

Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia dan tidaklah mereka menyebut Allah melainkan sedikit sekali." (an-Nisa`:142)

Yakni, mereka, di samping melakukan shalat karena riya`, juga bermalas-malasan dan merasa amat berat melakukannya, tidak mengharap pahala dan tidak meyakini bahwa meninggalkannya mendapat siksa.

Ibnu Mas'ud radhiyallahui ‘anhu berkata mengenai shalat berjama'ah, “Aku betul-betul melihat, tidak seorang pun di antara kami yang tidak melakukannya (shalat berjama'ah) selain orang yang munafik tulen. Bahkan ada seorang yang sampai bergelayut di antara dua orang disam-pingnya agar dapat berdiri di dalam shaf (karena ia masih sakit).” (HR. Muslim)

3. Meninggalkan Shalat Menjadi Sebab Mendapatkan Su’ul Khatimah

Imam Abu Muhammad ‘Abdul Haq rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa Su’ul Khatimah -semoga Allah melindungi kita darinya- tidak akan terjadi terhadap orang yang kondisi lahiriahnya lurus (istiqamah) dan batinnya baik. Alhamdulillah, hal seperti ini tidak pernah didengar dan tidak ada yang mengetahui pernah terjadi. Tetapi ia terjadi terhadap orang yang akalnya rusak dan ngotot melakukan dosa besar. Bisa jadi, kondisi seperti itu menguasainya lalu kematian menjem-putnya sebelum sempat bertaubat, maka syaithan pun memperdayainya ketika itu, nau'udzu billah. Atau dapat terjadi juga terhadap orang yang semula kondisinya istiqamah, namun kemudian berubah dan keluar dari kebiasaannya lalu terus berjalan ke arah itu sehingga menjadi sebab Su’ul Khatimah baginya.” (At-Tadzkirah: 53)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesung-guhnya ukuran semua amalan itu tergantung kepada kesudahannya.” (HR. Bukhari)

Sementara orang yang melakukan shalat tetapi buruk dalam mengerjakannya, dia terancam mendapat Su’ul Khatimah, maka terlebih lagi dengan orang yang sama sekali tidak 'menyapa' shalat?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang yang shalat tetapi tidak sempurna dalam ruku'nya, ia seperti orang yang mematok-matok di dalam sujud shalatnya, maka beliau bersabda mengenainya, “Andai ia mati dalam kondisi seperti ini, maka ia mati bukan di atas agama Muhammad.” (Hadits Hasan)

4. Meninggalkan Shalat Menjadi Slogan Penghuni Neraka Saqar

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya:
“Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga)." (Al-Muddatstsir: 27-30)

Dan firman-Nya, artinya:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Kecuali golongan kanan. Berada di dalam surga, mereka tanya menanya. Tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa. ‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam (neraka) Saqar? Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama orang-orang yang membicarakannya.” (Al-Muddatstsir: 38-45)

Jadi, orang-orang yang meninggalkan shalat tempatnya di neraka Saqar.

5. Meninggalkan Shalat Merupakan Sebab Seorang Hamba Dipecundangi Syaithan

Dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidaklah tiga orang yang berada di suatu perkampungan ataupun di pedalaman, lalu tidak mendirikan shalat di antara sesama mereka melainkan syaithan akan mempecundangi mereka. Karena itu, hendaklah kalian bersama jama'ah sebab srigala hanya memakan kambing yang sendirian.” (Hadits Hasan)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa, “Syaithan adalah srigala atas manusia yang merupakan musuh bebuyutannya. Maka sebagaimana burung yang semakin berada di ketinggian, semakin jauh dari petaka, sebaliknya, semakin berada di tempat rendah, petaka akan mengintainya, demikian pula halnya dengan kambing yang semakin dekat dengan penggembalanya, semakin terjaga keselamatannya, semakin ia menjauh, semakin terancam bahaya.”

(Sumber: As-Shalah Limadza? Muhammad bin Ahmad al-Miqdam)

Demikian di antara bahaya meninggalkan shalat, dan tentunya masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lain. Semoga dapat memotivasi kita di dalam meningkatkan kualitas shalat kita dan menjadi pengingat tentang besarnya urusan shalat sehingga tidak meninggalkannya. (Abu Hafshah)

Agar Shalat Menjadi Hal Yang Besar Di Mata Kita

Berikut ini langkah-langkah yang inysa-Allah akan menjadikan kita memandang shalat sebagai masalah yang besar:

  • Menjaga waktu-waktu shalat dan batasan-batasannya.

  • Memperhatikan rukun-rukun, wajib dan kesempurnaannya.

  • Bersegera melaksanakannya ketika datang waktunya.

  • Sedih, gelisah dan menyesal ketika tidak bisa melakukan shalat dengan baik, seperti ketinggalan shalat berjama’ah dan menyadari bahwa seandainya shalatnya secara sendirian diterima oleh Allah subhanahu wata’ala, maka dia hanya mendapatkan satu pahala saja. Maka berarti dirinya telah kehilangan pahala sebanyak dua puluh tujuh kali lipat.

  • Demikian pula ketika ketinggalan waktu-waktu awal yang merupakan waktu yang diridhai Allah subhanahu wata’ala, atau ketinggalan shaf pertama, yang jika orang mengetahui keutamaannya tentu mereka akan berundi untuk mendapatkannya.

  • Kita juga bersedih manakala tidak mampu mencapai khusyu’ dan tidak dapat menghadirkan segenap hati ketika menghadap kepada Rabb Tabaraka Wata’ala. Padahal khusyu’ adalah inti dan ruh shalat, karena shalat tanpa ada kekhusyu’an maka ibarat badan tanpa ruh.

    Oleh karena itu Allah tidak menerima shalat seseorang yang tidak khusyu’ meskipun dia telah gugur kewajibannya. Dia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya, karena seseorang itu mendapatkan pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyu’an dan tingkat kesadaran dengan kondisi shalatnya itu.

    Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba melakukan shalat dan dan tidaklah dia mendapatkan pahala shalatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau setengahnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dihasankan Al-Albani)

    Oleh karenanya beliau menegaskan dalam sabdanya, “Jika kalian berdiri untuk shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang akan meninggalkan dunia.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani).

    Sumber: 1. Ash-Shalâh, Limâdza?, Muhammad bin Ahmad al-Miqdam, Dâr Thayyi-bah, Mekkah al-Mukarramah). 2. Hayya ‘alash shalah, Khalid Abu Shalih, hal 12-13, Darul Wathan.

Pindah alamat

Sahabat semua.... sekarang blog ini telah pendah ke alamat..... http://abu-fatih.blogspot.com/ http://www.tbsyahadah.blogspot.com/ htt...