Izzatul Islam 107.9 FM

Menebar Dakwah, Merajut ukhuwah.

Sabtu, September 26, 2009

MUI Solo Gelar Tabligh Akbar Islam Bukan Teroris

MUI kota Surakarta menggelar Tabligh Akbar bertema Umat Islam Memberitahu Dunia bahwa Terorisme Bukan Islam, Jumat, 25 Desember di Lapangan Kota Barat Solo.

Ribuan umat Islam Solo dan sekitarnya dari berbagai elemen dan ormas Islam menghadiri tablihg akbar ini di tengah terik matahari yang menyengat.

Sejumlah tokoh umat Islam Surakarta seperti Ketum MUI Solo, Prof. Zainal Arifin Adnan, Ketum MTA Ustadz Ahmad Sukino,tokoh masyarakat Mudrick Sangidoe, Direktur Ponpes Al Mukmin Ustadz Wahyudin dan tokoh umat Islam lain tampak hadir.

Demikian pula nampak hadir para pejabat dari kalangan pemerintahan Walikota Solo Joko Widodo, Kapolwil dan dan kapoltabes Surakarta.

Dalam sambutannya, Ketum MUI Solo Prof. Zainal Arifin Adnan menegaskan bahwa kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi pada masyarakat Indonesia dan dunia bahwa Islam bukanlah identik dengan terorisme. Sehingga pengindentikan madrasah, pesantren dan berbagai atribut keislaman lainnya dengan terorisme adalah salah besar. MUI kota Solo menghendaki agar kepolisian bertindak profesional dalam upaya penanganan masalah tindak terorisme.

Dalam orasi pertama yang disampaikan Mudrik M. Sangidu, isu terorisme seperti ini menjadi bahan adu domba terhadapa umat Islam. Masyarakat harus menilai secara benar makna terorisme tersebut. Jika terorisme identik dengan kekerasan, maka Israel dan Amerika yang
melakukan penjajahan terhadap berbagai negara di dunia ini hakekatnya juga merupakan teroris.

Demikian pula melihat dampak yang terjadi hampir sama dengan tindak terorisme, maka para koruptor dari kalangan birokrat yang tidak amanah tersebut sama dengan tindakan teroris karena
mengakibatkan kelaparan bagi rakyat.

Sementara itu dalam orasi yang kedua yang disampaikan Ustadz Wahyudin menyampaikan bahwa salah satu sebab adanya terorisme adalah keidakadilan. Islam adalah agama yang menjunjung prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Beliau menegaskan bahwa kepolisian hendaknya bertindak profesional dalam menangani kasus terorisme ini dan menggunakan prisnsip keadilan.

Dalam orasi yang terakhir yang disampaikan Ketum MTA (Majelis Tafsir Al Quran) Ustadz Ahmad Sukino kembali menyampaikan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, sehingga menuntut penganutnya untuk selalu berbuat kebaikan dan berdakwah rahmatan lilalamin dengan makna yang sesungguhnya.
[muslimdaily.net]

Kamis, September 24, 2009

"Keyakinan dan Kegigihan Nabi Ibrahim a.s."

Prof. Syafii Maarif menyatakan semua pemikiran manusia adalah nisbi. Namun, ia masih mengecam orang yang berbeda denganya. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-176

Oleh: Adian Husaini

Setiap merayakan hari Raya Idul Adha, umat Islam senantiasa diingatkan akan keteladanan seorang Nabi Allah yang sangat agung dan mulia, yaitu Nabiyullah Ibrahim a.s. Beliau adalah teladan umat manusia, yang memiliki pribadi yang agung, mulia, yang memberikan keteladanan dalam menegakkan kalimah tauhid dalam situasi yang sangat sulit. Beliau hidup di tengah masyarakat penyembah berhala, penyembah dan pengagung batu.

Sebagai seorang yang cerdas, jujur, berani, dan telah menemukan kebenaran Tauhid, Ibrahim a.s., tidak dapat berdiam diri dengan tradisi dan kebobrokan masyarakatnya seperti itu. Sebab, memang tugas para Nabi yang utama, adalah menegakkan kalimah tauhid, dan menjauhi thaghut. “Dan sungguh telah kami utus Rasul kepada tiap-tiap kaum, (untuk menyeru umatnya), agar mereka menyembah Allah dan menjauhi thaghut.” (QS al-Nahl:36).

Oleh karena itu, semua utusan Allah mendapatkan tugas untuk menegakkan kalimah tauhid, bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan ditaati. Tidak ada Tuhan selain Allah. Karena itu, kisah-kisah para Nabi Allah senantiasa merupakan kisah pemberantasan kemuysrikan. Sebab, dalam pandangan Allah SWT, syirik adalah dosa besar, dan merupakan kezaliman yang besar. Lukman menitipkan pesan kepada anaknya: “Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik (itu) (mempersekutukan Allah) adalah kezaliman yang besar.” (QS. Lukman: 13)

Jadi, kezaliman bukan hanya kezaliman terhadap manusia. Tetapi, ada jenis kezaliman yang sangat besar, yaitu kezaliman terhadap Allah, dengan menyekutukan Allah dengan yang lain. Nabi Musa a.s. begitu murka dikhianati kaumnya yang menyembah patung sapi. Karena menyekutukan Allah dengan menyembah patung sapi itulah, maka orang-orang itu dihukum dengan cara membunuh diri mereka sendiri. Nabi Musa a.s. diturunkan Allah untuk melawan Fir’aun yang sudah menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Itulah tindakan syirik yang mebawa kehancuran kepada Fir’aun.

Setiap Nabi dibebani misi untuk mengingatkan manusia, agar jangan menyembah dan beribadah kepada selain Allah. Jangan menyembah batu, jangan menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan, jangan menjadikan harta, jabatan, dan manusia lain, sebagai tuhan, yang lebih dicintai, dihormati, diagungkan, dan ditaati, selain dari Allah SWT.

Dengan membawa misi seperti itu, maka dengan tegas, lembut, dan tulus, Nabi Ibrahim menasehati ayah dan kaumnya, agar mereka meninggalkan sesembahan batunya, meninggalkan tuhannya yang lama, dan beralih menyembah Tuhan yang sejati, Allah SWT.

Dikisahkan dalam Al-Quran: ”Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” (Al-An’am: 74).

Cobalah kita refleksikan ungkapan Nabi Ibrahim itu dalam kondisi masyarakat saat ini, dimana berbagai tindakan syirik dan menyepelekan Allah sedang merajalela dalam berbagai bentuknya. Suatu tradisi yang dianggap sudah mapan dan dianggap sebagai kebenaran oleh mayoritas masyarakatnya, digugat dengan satu perkataan yang tajam dan berani. Ibrahim tidak gentar dengan resiko yang dihadapinya. Ia sangat serius dalam menggugat tradisi penyembahan berhala. Nabi Ibrahim juga berdoa kepada Allah, agar anak keturunannya dijauhkan dari menyembah berhala. (QS Ibrahim: 35-36)

Al-Quran menggambarkan sosok Ibrahim dengan gambaran yang berbeda dengan konsep Yahudi, yang menekankan pada aspek “darah” atau “garis keturunan”. Ibrahim diklaim kaum Yahudi sebagai nenek moyang bangsa Yahudi. Klaim Yahudi adalah klaim rasialis, karena Yahudi memang bangsa yang sangat rasialis. Tuhan mereka, yang sebagian Yahudi menyebutnya dengan nama ‘Yahweh’ adalah Tuhan yang dikhususkan untuk bangsa Yahudi (henoteisme).

Berbeda dengan Yahudi, Al-Quran lebih menekankan sosok Ibrahim sebagai tokoh pembela dan penegak Tauhid, dan menekankan aspek “keimanan” dan “kesalehan” kepada Allah sebagai jalan menuju keselamatan, tanpa pandang bulu, apakah ia bangsa Yahudi atau Arab. Bahkan, untuk orang-orang yang sudah secara formal mengaku beragama Islam pun tidak dijamin keselamatannya jika tidak benar-benar beriman kepada Allah, Hari akhir, dan melakukan amal shalih. Kriteria iman yang sejati, bukanlah sekedar ‘ngaku-ngaku’, tetapi harus benar-benar diyakini dan diamalkan. (QS 2:62). Karena itulah, dalam Al-Quran disebutkan, ada orang-orang yang mengaku-aku beriman tetapi sejatinya mereka tidak beriman. (QS 2:8).

Al-Quran melawan paham rasialis Yahudi dengan mendasarkan keselamatan seseorang hanya semata-mata karena faktor iman dan amal shaleh. Islam adalah agama yang menghapus tuntas problema rasialisme yang hingga kini masih bercokol di belahan dunia Barat. Jika Yahudi mengklaim bahwa Ibrahim adalah Bapak bangsa Yahudi, maka

Al-Quran menegaskan, bahwa: “Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (Ali ‘Imran: 67).

Al-Quran begitu jelas menempatkan posisi dan sosok Ibrahim sebagai sosok pembela Tauhid dan penentang keras kemusyrikan. Kata Nabi Ibrahim, seperti disebutkan dalam Al-Quran: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar (hanif), dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (Al-An’am:79).

Menyongsong Idul Adha 1427 Hijriah ini, satu makna penting yang perlu kita ambil adalah meneladani kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan agama Tauhid dan melawan kemusyrikan. Nabiyullah Ibrahim tidak gentar menghadapi hegemoni paganisme di tengah masyarakatnya. Ia tampil sebagai manusia merdeka yang bertauhid, yang hanya menyandarkan dirinya kepada Allah SWT, meskipun harus berhadapan dengan tradisi pagan. Bahkan, karena perbuatannya melawan kemusyrikan, beliau akhirnya harus menghadapi ujian yang sangat berat, terutama yang datang dari tengah keluarganya sendiri. Ia harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya sendiri yang bertahan dalam kemusyrikan dan menentang ketauhidan.

Membaca kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam menegakkan kalimah Tauhid itu, kita tentu memahami, bahwa Nabiyulllah Ibrahim sangat yakin dengan kebenaran Tauhid yang diyakininya. Tauhid memang mensyaratkan keyakinan, dan menolak keraguan atau relativisme nilai. Dalam Tauhid yang ada adalah haq dan bathil, salah dan benar. Yang benar harus ditegakkan dan yang salah harus diruntuhkan, sebagimana dicontohkan oleh Nabiyullah Ibrahim a.s.

Umat Islam adalah umat yang menerima dan meyakini semua Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Kita tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Kita menerima dan mengimani kenabian Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw. Kaum Yahudi menolak kenabian Isa dan Muhammad. Kaum Nasrani menolak untuk mengimani kenabian Muhammad saw. Umat Islam adalah umat yang paling konsisten dalam mengikuti sunnah Ibrahim a.s. dan paling banyak menyebut namanya serta mendoakannya. Bukan hanya mereka yang sedang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, tetapi setiap hari dalam shalat lima waktu, kita senantiasa membaca shalawat (doa) untuk Nabiyullah Ibrahim a.s. bersama dengan shalawat untuk Nabi Muhammad saw.

Adakah umat lain yang begitu besar kecintaannya kepada Nabi Ibrahim selain umat Islam, yang setiap hari berulang kali menyebut namanya dalam ibadah wajibnya?

Tidak berbeda dengan tugas Nabi-nabi sebelumnya, Nabi Muhammad saw diperintahkan Allah SWT untuk menjelaskan tentang konsep Tauhid dalam Islam dan mengajak kaum Yahudi dan Kristen untuk bersama-sama menganut Tauhid dan meninggalkan tindak kemusyrikan yang sangat dimurkai oleh Allah SWT. Rasululullah saw diperintahkan oleh Allah SWT:

“Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada satu kalimah (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dengan kalian, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang Muslim.” (QS 3:64).

Dalam urusan tauhid inilah kita wajib meneladani apa yang telah dilakukan oleh para Nabi. Tauhid tentu tidak mungkin bersatu dengan syirik, sebab tauhid berlandaskan kepada keyakinan. Para Nabi begitu gigih dalam memberantas kemuysrikan. Para Nabi itu tentu berangkat dari keyakinan dan kepastian iman, bukan dari keraguan atau kenisbian iman. Keimanan mereka kokoh, bahwa Tauhid adalah benar, dan syirik adalah salah. Tentu saja, mereka memiliki keyakinan itu berdasarkan kepada pemahaman yang yakin pula. Mereka sama sekali bukan penganut paham relativisme akal, relativisme iman, atau relativisme kebenaran.

Keyakinan dalam iman inilah yang seyogyanya ditanamkan oleh para cendekiawan dan ulama. Kita tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada pikiran pada sebagian cendekiawan yang menyebarkan paham relativisme akal dan kebenaran, seperti yang dilakukan oleh Syafii Maarif melalui artikelnya di Republika (Jumat, 29 Desember 2006) yang berjudul “Mutlak dalam Kenisbian”.

Dia menulis: “Iman saya mengatakan bahwa Al-Quran itu mengandung kebenaran mutlak, karena ia berhulu dari yang Mahamutlak. Tetapi sekali ia memasuki otak dan hati manusia yang serba nisbi, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya, termasuk mufassir yang dinilai punya otoritas tinggi, apalagi jika yang menafsirkan itu manusia-manusia seperti saya… Jika ada orang yang mengatakan bahwa penafsirannya mengandung kebenaran mutlak, maka ia telah mengambil alih otoritas Tuhan.”

Terhadap pernyataan Syafii itu kita perlu lakukan klarifikasi dan koreksi. Banyak sekali kalangan cendekiawan yang terjebak oleh logika dikotomis semacam ini. Yang perlu ditekankan, adalah bahwa Al-Quran memang Kalamullah, tetapi Al-Quran diturunkan untuk manusia. Allah tidak menuntut manusia menjadi Tuhan dan tidak mungkin manusia memahami Al-Quran sama dengan Allah memahaminya. Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan. Karena itu, jika seorang mufassir atau seorang Muslim memahami dan meyakini pemahamannya bahwa Allah itu satu, bahwa Nabi Isa tidak disalib, bahwa babi itu haram, tidak bisa dikatakan, bahwa sang mufassir itu sedang menggantikan posisi Tuhan karena telah memutlakkan pendapatnya. Sebab, memang, di luar pemahaman (kebenaran) yang satu itu, tidak ada kebenaran lain. Dalam hal-hal yang pasti (qath’iy), memang hanya ada satu penafsiran yang benar. Tidak mungkin ada dua pemahaman yang berlawanan. Misalnya, tidak mungkin dipahami, bahwa Nabi Isa tidak disalib sekaligus juga disalib. Tidak mungkin ada pemahaman bahwa Allah itu satu, tetapi sekaligus juga banyak. Tidak mungkin kita memahami bahwa babi itu haram sekaligus juga halal. Jika kita memahami bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi, maka tidak mungkin pada saat yang sama kita juga menisbikan pendapat kita bahwa ada kemungkinan beliau saw juga bukan nabi. Na’udzubillah. Dalam hal ini, keyakinan bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi memang bersifat mutlak, tidak ada keraguan sedikit pun dan tidak ada kenisbian sedikit pun. Tentu, ‘kemutlakan’ di sini adalah dalam batas-batas manusia, karena kita memang tidak mungkin menggantikan posisi Tuhan.

Dalam hal sederhana, kita bisa bertanya, apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan: “Karena pemikiran saya bersifat nisbi, maka kelelakian saya adalah nisbi dan tidak mutlak.” Begitu juga, apakah beliau berani membuat pernyataan: “Karena pemahaman akal saya terhadap Allah adalah nisbi, maka keimanan saya kepada Allah juga bersifat nisbi dan tidak mutlak.” Apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan seperti itu? Jika berani, maka kita tidak bisa berbuat apa-apa. Cukup mengelus dada dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Kita tunggu saja apa yang terjadi kemudian.

Kenyataannya, Syafii Maarif juga tidak konsisten. Jika ia menyatakan semua pemikiran manusia adalah nisbi, maka pemikiran dia pun nisbi. Sebab itu, dia tidak perlu menyalahkan atau mengecam orang yang berpendapat lain dengan pendapatnya, serta memaksa manusia lain untuk menisbikan pendapatnya, seperti dia. Ketika dia menyalahkan orang lain, maka dia sendiri pun sudah memutlakkan pendapatnya.

Yang jelas, keberanian Nabi Ibrahim a.s. dalam meruntuhkan berhala-berhala kaumnya tidak mungkin muncul dari sebuah keimanan yang nisbi dan relatif; tetapi muncul dari pemikiran dan keyakinan yang mutlak, bahwa menyembah berhala adalah tindakan syirik dan salah sampai kapan pun! Wallahu a’lam bis-shawab.

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Rabu, September 23, 2009

Bahaya Meninggalkan Shalat


1. Meninggalkan Shalat Merupakan Kekufuran

Allah subhanahu wata’ala berfirman mengenai orang-orang Musyrikin, artinya,
"Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama." (at-Taubah:11)

Yakni, jika mereka bertaubat dari kesyirikan dan kekufuran mereka, mendirikan shalat dengan meyakini kewajibannya, melaksanakan rukun-rukunnya dan membayar zakat yang diwajibkan, maka mereka adalah saudara di dalam agama Islam. Jadi, yang dapat difahami dari ayat ini, bahwa siapa saja yang ngotot melakukan kesyirikan, meninggalkan shalat atau menolak membayar zakat, maka ia bukan saudara kita dalam agama Islam.

Dalam sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“(Pembeda)antara seseorang dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR.Muslim)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Aku khawatir tidak halal bagi laki-laki (suami) diam bersama isteri yang tidak melakukan shalat, tidak mandi jinabah dan tidak mempelajari al-Qur'an.”

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama seputar jenis kekufuran orang yang meninggalkan shalat karena bermalas-malasan meskipun menyakini kewajibannya, maka yang pasti perbuatan itu amat dimurkai.

2. Meninggalkan Shalat Merupakan Kemunafikan.

Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia dan tidaklah mereka menyebut Allah melainkan sedikit sekali." (an-Nisa`:142)

Yakni, mereka, di samping melakukan shalat karena riya`, juga bermalas-malasan dan merasa amat berat melakukannya, tidak mengharap pahala dan tidak meyakini bahwa meninggalkannya mendapat siksa.

Ibnu Mas'ud radhiyallahui ‘anhu berkata mengenai shalat berjama'ah, “Aku betul-betul melihat, tidak seorang pun di antara kami yang tidak melakukannya (shalat berjama'ah) selain orang yang munafik tulen. Bahkan ada seorang yang sampai bergelayut di antara dua orang disam-pingnya agar dapat berdiri di dalam shaf (karena ia masih sakit).” (HR. Muslim)

3. Meninggalkan Shalat Menjadi Sebab Mendapatkan Su’ul Khatimah

Imam Abu Muhammad ‘Abdul Haq rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa Su’ul Khatimah -semoga Allah melindungi kita darinya- tidak akan terjadi terhadap orang yang kondisi lahiriahnya lurus (istiqamah) dan batinnya baik. Alhamdulillah, hal seperti ini tidak pernah didengar dan tidak ada yang mengetahui pernah terjadi. Tetapi ia terjadi terhadap orang yang akalnya rusak dan ngotot melakukan dosa besar. Bisa jadi, kondisi seperti itu menguasainya lalu kematian menjem-putnya sebelum sempat bertaubat, maka syaithan pun memperdayainya ketika itu, nau'udzu billah. Atau dapat terjadi juga terhadap orang yang semula kondisinya istiqamah, namun kemudian berubah dan keluar dari kebiasaannya lalu terus berjalan ke arah itu sehingga menjadi sebab Su’ul Khatimah baginya.” (At-Tadzkirah: 53)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesung-guhnya ukuran semua amalan itu tergantung kepada kesudahannya.” (HR. Bukhari)

Sementara orang yang melakukan shalat tetapi buruk dalam mengerjakannya, dia terancam mendapat Su’ul Khatimah, maka terlebih lagi dengan orang yang sama sekali tidak 'menyapa' shalat?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang yang shalat tetapi tidak sempurna dalam ruku'nya, ia seperti orang yang mematok-matok di dalam sujud shalatnya, maka beliau bersabda mengenainya, “Andai ia mati dalam kondisi seperti ini, maka ia mati bukan di atas agama Muhammad.” (Hadits Hasan)

4. Meninggalkan Shalat Menjadi Slogan Penghuni Neraka Saqar

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya:
“Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga)." (Al-Muddatstsir: 27-30)

Dan firman-Nya, artinya:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Kecuali golongan kanan. Berada di dalam surga, mereka tanya menanya. Tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa. ‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam (neraka) Saqar? Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama orang-orang yang membicarakannya.” (Al-Muddatstsir: 38-45)

Jadi, orang-orang yang meninggalkan shalat tempatnya di neraka Saqar.

5. Meninggalkan Shalat Merupakan Sebab Seorang Hamba Dipecundangi Syaithan

Dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidaklah tiga orang yang berada di suatu perkampungan ataupun di pedalaman, lalu tidak mendirikan shalat di antara sesama mereka melainkan syaithan akan mempecundangi mereka. Karena itu, hendaklah kalian bersama jama'ah sebab srigala hanya memakan kambing yang sendirian.” (Hadits Hasan)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa, “Syaithan adalah srigala atas manusia yang merupakan musuh bebuyutannya. Maka sebagaimana burung yang semakin berada di ketinggian, semakin jauh dari petaka, sebaliknya, semakin berada di tempat rendah, petaka akan mengintainya, demikian pula halnya dengan kambing yang semakin dekat dengan penggembalanya, semakin terjaga keselamatannya, semakin ia menjauh, semakin terancam bahaya.”

(Sumber: As-Shalah Limadza? Muhammad bin Ahmad al-Miqdam)

Demikian di antara bahaya meninggalkan shalat, dan tentunya masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lain. Semoga dapat memotivasi kita di dalam meningkatkan kualitas shalat kita dan menjadi pengingat tentang besarnya urusan shalat sehingga tidak meninggalkannya. (Abu Hafshah)

Agar Shalat Menjadi Hal Yang Besar Di Mata Kita

Berikut ini langkah-langkah yang inysa-Allah akan menjadikan kita memandang shalat sebagai masalah yang besar:

  • Menjaga waktu-waktu shalat dan batasan-batasannya.

  • Memperhatikan rukun-rukun, wajib dan kesempurnaannya.

  • Bersegera melaksanakannya ketika datang waktunya.

  • Sedih, gelisah dan menyesal ketika tidak bisa melakukan shalat dengan baik, seperti ketinggalan shalat berjama’ah dan menyadari bahwa seandainya shalatnya secara sendirian diterima oleh Allah subhanahu wata’ala, maka dia hanya mendapatkan satu pahala saja. Maka berarti dirinya telah kehilangan pahala sebanyak dua puluh tujuh kali lipat.

  • Demikian pula ketika ketinggalan waktu-waktu awal yang merupakan waktu yang diridhai Allah subhanahu wata’ala, atau ketinggalan shaf pertama, yang jika orang mengetahui keutamaannya tentu mereka akan berundi untuk mendapatkannya.

  • Kita juga bersedih manakala tidak mampu mencapai khusyu’ dan tidak dapat menghadirkan segenap hati ketika menghadap kepada Rabb Tabaraka Wata’ala. Padahal khusyu’ adalah inti dan ruh shalat, karena shalat tanpa ada kekhusyu’an maka ibarat badan tanpa ruh.

    Oleh karena itu Allah tidak menerima shalat seseorang yang tidak khusyu’ meskipun dia telah gugur kewajibannya. Dia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya, karena seseorang itu mendapatkan pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyu’an dan tingkat kesadaran dengan kondisi shalatnya itu.

    Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba melakukan shalat dan dan tidaklah dia mendapatkan pahala shalatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau setengahnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dihasankan Al-Albani)

    Oleh karenanya beliau menegaskan dalam sabdanya, “Jika kalian berdiri untuk shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang akan meninggalkan dunia.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani).

    Sumber: 1. Ash-Shalâh, Limâdza?, Muhammad bin Ahmad al-Miqdam, Dâr Thayyi-bah, Mekkah al-Mukarramah). 2. Hayya ‘alash shalah, Khalid Abu Shalih, hal 12-13, Darul Wathan.

Selasa, September 22, 2009

Spanyol Peringati 400 Tahun Pengusiran Umat Islam

Pada 2 September 1609, rezim Raja Spanyol Philip III telah meluncurkan program pengusiran terhadap 300.000 Moriscos (sebutan untuk Mualaf Spanyol - red), dari negeri Spanyol.

Perintah pengusiran yang pertama memberikan kesempatan terhadap para Moriscos dari wilayah timur Valencia selama tiga hari untuk sampai ke pelabuhan terdekat, dengan tidak membawa koper lain selain apa yang bisa mereka bawa, setelah terjadi penundaan yang hukumannya akan berakibat kematian terhadap mereka.

Spanyol menandai peringatan 400 tahun peluncuran pengusiran massal kaum Moriscos pada hari Selasa kemarin, hal ini secara luas dianggap sebagai contoh awal pembersihan etnis dan sebagai kerugian yang besar sehingga menunda perkembangan negara. Pemerintah Spanyol, bagaimanapun, memperingati peristiwa ini secara tidak resmi dan mereka merasa "kurang nyaman" untuk memperingatinya secara terang-terangan.

Umat Islam Spanyol dikenal sebagai kaum Moor menguasai bagian Semenanjung Iberia dari ke-8 ke abad ke-15. Berlawanan dengan keyakinan yang tersebar selama ini ternyata sebagian besar Muslim penakluk dan pemukim bukanlah orang Arab, tapi orang Afrika Utara Berber (Amazigh), dan banyak pribumi asal Spanyol juga masuk Islam. Muslim Spanyol, yang dikenal dengan nama Al-Andalus adalah sebuah mercusuar bagi sebuah kebudayaan yang tinggi pada abad pertengahan Eropa, dengan puncak peradabannya pada abad ke-10.

Akibat Melemahnya dan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan Moor di Spanyol, umat Kristen dibawah kepemimpinan raja Katolik Ferdinan dan Ratu Isabella merebut kembali negara itu pada tahun 1492.

Pada tahun yang sama, kedua pasangan raja dan ratu Katolik ini mengusir semua orang Yahudi dari kerajaan mereka dan mereka berkeinginan bersatu di bawah homogenitas identitas Kristen.

Awalnya umat Islam Spanyol diberitahu bahwa mereka dapat terus tetap dengan keyakinan Islam mereka, tetapi janji itu hanya terjadi beberapa tahun saja. Pada abad ke-16, bukan hanya umat Islam dipaksa untuk masuk agama Kristen, tapi mereka juga dipaksa untuk meninggalkan bahasa Arab, pakaian muslim, adat, dan semua jejak budaya asli mereka.

Namun banyak kaum Moriscos terus menerapkan Islam secara rahasia dan diam-diam, Atas keraguan mereka tentang ketulusan terhadap iman Kristiani membuat mereka mengalami penyiksaan dan inquisisi (pembantaian). Ada juga keraguan tentang kesetiaan mereka kepada raja, dan raja Philip III takut mereka mungkin akan meminta bantuan invasi kepada kekhalifaan Ottoman ke Spanyol. Akhirnya, ketika raja Philip III Menderita kekalahan de-facto dalam perang melawan Protestan di Belanda 1609 dan untukmencegah adanya perlawanan atas musuh internal, kaum Moriscos diperintahkan untuk pergi dan diusir dari Spanyol.

Pengusiran dimulai di Valencia, di mana 30 persen pendudukya merupakan Mualaf. Pengusiran kaum Moriscos dari Spanyol, yang berlangsung 1609-1614, merupakan salah salah satu yang terbesar dalam sejarah negara itu.

Eksodus terjadi dalam kondisi yang brutal, hingga menyebabkan lebih dari 12.000 orang mati dalam proses pengusiran.

Sebagian besar Moriscos dikapalkan ke Afrika Utara, di mana mereka menciptakan kekayaan dan memberikan kontribusi kepada budaya Maroko, Aljazair dan Tunisia. Beberapa bahkan menyeberangi Sahara ke Mali atau Benin. Sebagian yang lain meninggalkan Spanyol untuk pergi menuju Perancis dalam rangka melakukan perjalanan ke Istanbul, sementara beberapa pergi ke Amerika Latin.

Sebagian dari kaum Moriscos terpaksa menggunakan strategi berbeda untuk tetap tinggal di Spanyol, seperti menggunakan suap, menikah dengan orang Kristen, memasuki gereja atau melakukan pemberontakan yang mana memaksa mereka harus ditekan dan dibantai.(fq/earthtimes)